http://darmansyah.weblog.esaunggul.ac.id |
Kurang lebih dua tahun lamanya aku telah kuliah di luar
kota. Sejak tahun 2013 aku merantau ke Yogyakarta. Rumahku sendiri di Lampung. Sudah
dua tahun lamanya. Banyak hal yang telah berubah. Sekali lagi, banyak hal yang telah
berubah, misalnya adikku kini menjadi semakin besar, ada beberapa perabotan
baru di rumah, jalan di desa kami kembali dibangun, ada banyak bangunan baru di
lahan pekarangan yang dulunya kosong, dan masih banyak lagi hal yang telah
berubah pada kehidupan yang telah 2 tahun aku tinggalkan. Namun ada beberapa
hal yang tidak atau belum berubah pada desaku, yaitu tingkat kemiskinan dan
jenjang pendidikan yang masih rendah.
Harus kuakui bahwa, bergantinya rezim kepemimpinan dalam
negara kita tidak banyak memberikan perubahan pada negeri kita. Ada banyak
orang kaya di desaku, tetapi jauh lebih banyak masyarakat kelas menengah ke
bawah. Yang lebih membuat aneh lagi adalah, masyarakat kelas menengah ke bawah
ini justru bersikap konsumtif. Loh kok
bisa? Iya, memang begitulah keadaannya. Masyarakat kami (baik yang kaya maupun
yang miskin memang konsumtif). Misalnya saja ketika dalam membeli barang,
kebanyakan masyarakat kami lebih memilih membeli barang secara kredit. Padahal
jika dihitung secara keseluruhan, barang kredit justru jauh lebih mahal dari
membeli dengan cash. Yah, walaupun
alasan mereka adalah karena tidak bisa membeli barang secara cash karena tidak memiliki uang dalam
jumlah banyak dalam sekali waktu, namun tetap saja alangkah lebih baiknya jika
mengumpulkan uang terlebih dahulu daripada harus membayar cicilan kredit dalam
jumlah yang lama dan lebih besar.
Contoh konsumtif lainnya adalah budaya boros ketika panen
raya tiba. Masyarakat kami mayoritas bekerja di bidang pertanian alias petani.
Ketika panen raya tiba, banyak sekali uang yang bisa didapatkan dari menjual
hasil pertanian. Banyaknya uang ini membuat masyarakat kami terlena dan tergoda
untuk membelanjakan uangnya. Alhasil ketika musim menanam kembali, mereka tidak
memiliki uang untuk modal, sehingga harus meminjam uang kepada bank atau
rentenir. Peminjaman ini tentu saja akan merugikan karena sistem peminjaman di
bank maupun melalui rentenir menggunakan bunga. Akhirnya petani terjerat bunga
bank. Hasil panen berikutnya akan habis untuk melunasi hutang. Naasnya lagi
jika hutang tersebut tidak bisa dibayar, maka lahan pertanian tersebut terpaksa
dijual atau digadaikan. Seharusnya masyarakat banyak belajar dari pengalamannya
sendiri maupun pengalaman orang lain, namun kebanyakan justru kesalahan tersebut
terulang kembali. Dari tahun ke tahun, dari windu ke windu.
Mungkin saja jika masyarakat kami tidak konsumtif dan
tidak memiliki budaya boros ketika panen raya tiba, maka masyarakat akan
sejahtera atau bahkan bisa menjadi kaya raya. Budaya konsumtif dan boros
terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat desa. Rata-rata
masyarakat di desa kami adalah lulusan SD dan SMP. Orang yang lulus Sarjana
dapat dihitung dengan jari. Pendidikan setara SD dan SMP tentu saja belum cukup
untuk membentuk karakter yang memiliki pemikiran jauh ke depan. Akhirnya yang
terjadi adalah, orientasi dari masyarakat kita sekarang ini adalah masa
sekarang. Jarang sekali diantara mereka yang memikirkan masa depan, memikirkan
pentingnya menabung, memikirkan betapa berharganya menyekolahkan anak-anak
mereka setinggi langit, mereka belum menyadari bahwa menabung adalah kunci
kesuksesan di masa depan. Jarang sekali ada warga yang menabung di bank, jarang
sekali ada warga yang memiliki asuransi kesehatan untuk keluarganya, jarang
sekali diantara warga yang memikirkan untuk berinvestasi untuk jangka panjang.
Nah, tugas kita sebagai generasi muda yang berpikir maju adalah mengingatkan
bahwa sudah saatnya mengubah cara pandang masyarakat kita dari yang hanya
berorientasi pada “hari ini yang penting
gue seneng” menjadi orientasi “gue
harus nabung, investasi jangka panjang untuk masa depan gue dan keluarga gue”.
Haha
bye bye sikap boros dan konsumtif,
selamat datang kesuksesan di masa depan!!
0 comments:
Post a Comment