Oleh: Rizal Dzikri
Aku hanya ingin
seperti wanita biasa. Bisa menentukan jalan hidup mereka masing-masing. Mereka
bebas menentukan pilihan hidupnya. Jalan hidup bagi mereka luas dan
bercabang-cabang, lalu tinggal mau pilih yang mana. Bisa bergaul dengan teman
–teman yang lain, pergi ke tempat-tempat indah kemana pun mereka suka.
Menghabiskan masa muda dengan bersenang-senang, tanpa harus diatur oleh
pemikiran kolot orangtuaku.
Ya, disinilah aku. Terkurung
dalam sebuah keraton nan megah. Aku terlahir sebagai putri sulung Sultan Jawa,
alias keluarga ningrat. Segala kebutuhan terpenuhi, hidupku sudah berkecukupan
bahkan tergolong mewah. Secara finansial aku terlindungi tapi secara batiniah
aku merasa hampa. Menjadi keluarga ningrat tidak seenak yang dibayangkan. Penuh
dengan aturan-aturan keluarga dan tradisi turun temurun yang harus dipatuhi.
Termasuk dalam menentukan pendamping hidup.
“Besok bapak akan mengenalkanmu dengan calon suamimu,” kata bapak waktu itu seperti gemuruh yang
datang tiba-tiba
tanpa pertanda hujan atau awan mendung menutupi kalbu biru.
“Dijodohkan? ucapku pada bapak dengan
berlumur kerigat dingin. “Aku tak mau dijdohkan, aku tidak mengenalnya apalagi mencintainya. Belum tentu juga dia
benar-benar mencintaiku. Aku sudah punya pilihan, Pak. Arman. Dialah orang yang Siti cintai bukan orang lain.”
“Kau putuskan saja
anak petani itu, ia tidak setara dengan kita. Kau hidup dengan uang buka dengan
cinta,” bapak terus bersikeras
pada pendapatnya.
“Tapi, Pak, ini pilihan Siti, Siti tidak mau dijodohkan,” aku yang mulai angkat bicara membuat bapak geram
dengan sifatku yang seperti preman tidak tahu unggah-ungguh.
“Pokoknya kamu harus mau
dijodohkan, turuti perintah Bapak. Tidak ada tapi-tapian lagi. Titik,” bapak berjalan keluar
kamar dan melemparkan daun pintu sembari meluapkan emosnya padaku.
Tubuhku terkulai
lemas. Kemudian
aku jatuh tanpa daya bersamaan dengan pupusnya harapanku untuk hidup bersama
Arman. Aku menengadah kepalaku ke langit-langit kamar sembari membenamkannya pada
bantal yang sudah basah oleh linangan air mata. Dadaku terasa penuh sesak
seolah ribuan batu menghimpit tubuhku. Hatiku, hatiku telah hancur. Dihancurkan
oleh makhluk tengil bernama bapak.
“Maafkan aku, Arman,” gumamku dalam hati sembari memeluk foto Arman.
“Sepertinya hubungan
yang kita jalin lebih dari tiga tahun secara sembunyi-sembunyi tanpa
sepengetahuan Bapak harus berakhir sampai disini. Bukan karena aku tidak
mencintaimu tapi karena cintaku yang dipaksakan untuk orang lain,” kini air mataku mengaliri gambar wajah oval
Arman.
***
Bapakku mengenalkanku dengan seorang pria
bergelar Raden Mas, juga dari keluarga ningrat. Raden Mas Waluyo namanya. Baru
tiga hari kami bertemu, mereka langsung sepakat menjodohkanku tanpa mencari
persetujuan denganku dan dalam waktu dekat kami akan menikah. Padahal aku belum
siap. Aku masih ingin melanjutkan kuliahku. Aku ingin menjadi seorang wanita
karir yang mandiri, bukan menjadi ibu rumah tangga yang selalu mengurusi rumah
seperti sapi bego siap dipotong. Terlebih lagi, aku tidak suka dengan Waluyo,
orangnya angkuh dan mata keranjang. Baru sehari jalan bersamanya, tangannya
sudah meraba-raba
tubuhku.
“Waluyo itu anak
yang baik, wajahnya tampan, setia, pengertian, pekerja keras, punya banyak perusahaan dan yang penting
dia kaya raya. Engkau akan hidup bahagia dengannya,” kata bapak suatu suatu
hari.
Aku ingin
memberontak, aku ingin melawan kekolotan pikiran orangtuaku di zaman yang sudah
maju ini. Bukan
masanya orangtua memaksakan kehendak sang anak seperti kehidupan Siti Nurbaya.
Tapi, sekali lagi kujelaskan, tiada kata memberontak atau melawan dalam
keluarga kami, yang ada hanya satu kata, yaitu patuh.
Setelah melakkan
serangkaian upacara adat yang panjang, kami melakukan akad nikah. Aku seperti
boneka yang harus menuruti semua kemauan orangtuaku, tersenyum di depan
tamu-tamunya yang terhormat dan harus melayani laki-laki yang sama sekali tidak
aku cintai. Hidupku penuh dengan linangan air mata.
Setelah dua tahun
menikah, kami dikaruniai seorang anak laki-laki. Aku menjadi sedikit bahagia
setelah kelahiran anakku, namun kebahagiaanku tidak bertahan lama. Wajah yang
tampan dan baik belum tentu memiliki hati yang baik pula. Waluyo ternyata
lelaki hidung belang. Di belakangku dia sering berselingkuh dengan wanita lain. Mungkin aku masih bisa
memaafkan, tapi selingkuh itu dilakukan di dalam rumah. Ia sering
membawa perempuan selingkuhannya ke rumah di hadapan mata kepalaku sendiri. Di depan anaknya
sendiri. Dasar mata keranjang, buaya darat, playboy cap sandal jepit.
Detik itu juga kami
bercerai. Aku tak rela diriku dimadu. Aku tak ingin anakku melihat bapaknya
yang bejat itu.
“Kalau kita
bercerai, kamu bawa barang-barangmu dan anakmu pergi dari sini. Tapi jangan
bawa hartaku serupiahpun,” kata Waluyo mengancamku dengan dada terengah-engah.
“Baik, aku tidak
butuh uangmu. Sejak awal aku juga tidak mencintaimu. Aku sudah bosan hidup
denganmu,” balasku menantangnya.
“ Apa? Kalau begitu
pulanglah pada orangtuamu yang gila harta itu,” usir Waluyo.
Aku segera
mengemasi barang-barangku dan membawa Raihan pergi meninggalkan istana nan
megah ini dengan berjingkrak ria.
Merdeka! Itulah yang kurasakan saat ini. aku kembali ke
rumah ayah dan ibu tanpa ada rasa sesal sedikitpun. Mereka begitu sedih dan
menyesal. Mereka tak menyangka laki-laki dari kelurga keraton yang berbudi luhur tapi
berhati bejat.
“Tidak usah disesalkan
Pak, Bu. Siti senang Bapak, Ibu, sudah tahu kebusukan Waluyo. Sekarang Siti ingin mengatur
kehidupan Siti sendiri tanpa ada kekangan dari Bapak dan Ibu,” ucapku.
Bapak dan Ibu mengangguk sembari menyesali kesalahan
mereka. Harta, kekuasaan apalagi wajah yang tampan tidak menjamin orang akan
hidup bahagia. Yang penting adalah hati yang dapat mencintai dengan tulus.
Setelah bercerai
hidupku menjadi lebih baik. Tenang dan damai. Aku punya banyak waktu untuk
membesarkan Raihan dan menikmati masa mudaku yang hilang. Orangtuaku tidak mau
ikut campur lagi dalam kehidupanku, bagi mereka sekarang yang penting aku
bahagia.
Malam ini aku
sangat gelisah. Wajah Arman kekasihku
dulu kembali menari-nari dalam ingatanku. Entah mengapa
rasa itu muncul kembali. Ah, apa mungkin Arman masih mencintaiku? Kalaupun iya, apakah ia mau menerima
keadaanku sekarang ini? Itulah beberar pertanyaan yang tak terjawab sebelum akhirnya aku terlelap dalam
buaian kantuk.
***
“Siti, ada seseorang yang ingin
bertemu denganmu.”
Tak biasa bapak mengetuk pintuku
dengan pelan. Karena penasaran, aku segera keluar dari kamar dan menuju ke
ruang tamu.
Begitu takjubnya aku setelah melihat
sosok lelaki tengah berdiri tegap di hadapanku. Ya, masih dengan senyumnya yang
manis seperti dulu.
“Arman,” aku seraya ingin segera
memeluk Arman untuk meluruhkan rinduku. Namun, itu tak mungkin. Aku bisa
didepak bapak jika aku melakukan hal yag dilarang itu.
“Siti,” dengan lembut Arman menyebut
namaku, masih selembut dulu saat pertama kita bertemu.
“Secepatnya, Bapak akan mengatur
pernikahanmu dengan Arman.”
Aku benar-benar tak percaya dengan
ucapan bapak. Kali ini beliau benar-benar akan menikahkan aku tanpa syarat,
tanpa harta dan seabrek syarat lainnya.
Aku dan Arman melegang senyum.
Kemudian berjalan ke arah yang telah ditentukan Tuhan. Ya, kami memang
berjodoh. Meski harus ada pahit di awalnya. Kini, telah kami dapatkan manisnya
pernikahan dan berjanji akan menjadikan satu-satunya dalam hidup dengan cinta.
***
nb: jangan plagiat karya orang lain. yang plagiat aku doakan tidak selamat dunia dan akhirat. aamiin.
0 comments:
Post a Comment