Karya : RIZAL DZIKRI
“saat kehidupan telah patah, saat
cinta tak lagi bergumul menjadi rindu,
masihkah ada kehidupan setelahnya?”
“Kak?
Kayaknya kita harus putus. Kita temenan saja ya” sebuah pesan singkat yang
membuatku terkejut. Aku mengulang kata-kata itu berkali-kali. Apa aku tidak
salah baca?
“Kenapa
harus putus? Apa aku berbuat salah? Apa aku tidak baik untukmu?”
“Tidak,
bukan itu. Kamu tidak salah. Aku hanya merasa tidak ada chemistry diantara kita”
Jleb. Aku tertusuk pisau yang berhembuskan cinta. Aku
terdiam. Ingin menangis tapi air mata ini tak keluar. Ingin berteriak sekuat
tenaga tapi mulut ini tak mampu berucap, karena kelu. Karena sendu. Aku berusaha
memperbaiki semua.
“Ayolah,
kita jangan putus. Aku akan berusaha menjadi yang terbaik untukmu. Aku akan
lebih perhatian denganmu. Aku janji”
“Terlanjur
pengen sendiri kak, kita temenan aja ya” pesan terakhir Shella di malam itu.
Aku terus berusaha mengirimkan pesan singkat tapi tidak di balas. Aku telfon,
ia reject. Sampai larut malam aku tidak bisa tidur. Aku terus memikirkannya.
Semua ini terlalu mendadak untukku. Hatiku belum kuat untuk menerima semua ini.
Aku terlalu ringkih.
Aku harus berbicara langsung dengannya. Inilah saat yang tepat. Kurelakan hari ini
tidak ikut jam tambahan dan menunggu berjam-jam demi bertemu dengan Shella.
“Shella, tunggu aku mau bicara”
ia menghentikan langkahnya. Raut mukanya tampak ia ingin menghindar dariku. Aku
mendekatinya.
“Apa kamu yakin dengan
keputusanmu kemarin malam?”
“Iya kak”
“Kenapa?”
“Karena kita tidak cocok”
“Kamu jangan bohong”
“Aku serius kak” Shella menatapku
tajam. Aku terdiam. Tertunduk tak berdaya.Sudah pupus harapanku. Hubungan ini
tidak bisa dipertahankan lagi. Bunga yang setiap hari kurawat, kurelakan mekar
tanpa hadirku. Dengan berat hati kuterima status “jomblo” lagi. Huft.
“ Tapi aku masih boleh ketemu
sama kamu kan?” ucapku. Ia tersenyum manis. Sementara aku tersenyum miris.
“Bolehlah kak. Kita kan teman”
Teman? Sebenarnya aku ingin kita lebih dari sekedar berteman,
Shella. Aku ingin jadi pacarmu. Menjadi pelindungmu, penghiburmu saat suka dan duka.
Menjadi seseorang yang bisa kamu banggakan. Tapi, aku terlalu berharap lebih.
Aku terima keputusanmu, walau berat kurasakan.
Setelah
kita putus tak kuurungkan niatku untuk mendekatimu lagi. Aku tahu tempo hari
kamu mengatakan tidak ingin pacaran sekarang ini. Namun, hatiku hanya ingin
dekat denganmu. Rindu rasanya jika aku belum memandang wajahmu. Rindu kata-kata
manjamu. Aku rindu semua yang ada pada dirimu. Namun, harapan itu seperti tak
kunjung terbit. Hari demi hari sms ku tidak kamu balas. Saat aku menelpon, kamu
matikan. Saat di sekolah pun seperti itu. Menunduk-nunduk jika bertemu
denganku. Atau malah berpura-pura tak melihat. Kenapa kamu harus menghindar jika kita masih berteman?
Hari-hariku
terasa berbeda sekali. Biasanya setelah pulang sekolah menunggu pacar, ngobrol
sama pacar, makan sama pacar dan nganterin pacar. Sekarang, pulang sekolah ya
pulang, kadang main PS di rumah teman atau tidur di rumah. Kalau malamnya
biasanya telpon-telponan sama pacar atau belajar sambil smsan sama pacar. Tapi
kalau sekarang, belajar sambil ngegalau sampai bisa ketiduran. Semua aspek kehidupanku terganggu. Sekolah,
keluarga, teman dan kepada Sang Pencipta.
Aku
sering ditegur oleh Pak Guru karena sering melamun saat di kelas, akibatnya
aku dihukum membersihkan taman sekolah
atau toilet anak laki-laki yang baunya seperti pabrik amonia. Dan yang paling
membuatku malu adalah nilai ulanganku selalu buruk. Aku memang bukan anak
pintar di sekolah tapi setidaknya tak
pernah kudapatkan nilai ulangan sejelek ini. 25, ditulis dengan pulpen merah
besar pula.
Hubunganku
dengan teman-temanku juga tak baik. Aku menjadi acuh tak acuh. Sering mereka
aku marahi tanpa sebab ketika belajar bersama atau ketika sedang melakukan
percobaan.
“Wan,
ambilkan garam” perintah seenak jidatku.
“Ok,
ini garamnya”
“Lho
kok yang ini, ganti yang lain. Bagaimana sih kamu ini?”
“Nggak
ada yang lain Raihan. Memang kenapa sih yang itu?” Iwan dan yang lainnya
bingung.
“Yang
ini jelek. Sudah kadaluarsa” toweweng.
“Eh
monyet, dimana-mana garam nggak bisa kadaluarsa. Akh, kamu ini” Iwan memanas dan teman-teman yang lain juga
menyalahkanku. Kami saling beradu mulut. Aku menggebrak meja supaya mereka diam tapi alhasil, alat-alat
percobaan kami hancur semua. Kami gagal menjalankan percobaan. Dan aku kena
hukuman lagi.
Sebenarnya mereka tak salah, aku
yang salah. Aku belum bisa mengendalikan diriku dengan lingkungan yang ada.Ya,
singkatnya aku masih terbawa masalah asmaraku tempo hari. Aku merasa mereka
tidak memahami perasaanku. Semuanya sama, tak ada yang peduli padaku. Bahkan
keluargaku juga begitu. Mama lebih sering memperhatikan hobinya merawat tanaman
atau pergi arisan teman-temannya. Sedangkan Papa, pekerjaan terus yang di
urusin. Nggak siang gak malam, mesti omongannya sama “Papa ada meeting malam
ini, jadi kalian malam sendiri saja”. Waktu mereka sangat sedikit untukku.
“Ma, di
sekolah ngadain acara camping keluarga. Kita ikut ya” pintaku suatu hari.
“Lho,
kapan sayang?”
“Dua
minggu lagi Ma, ikut ya Ma, sekalian Papa diajak. Teman-teman banyak yang ikut
lho”
“Ya
besok, kalau Papamu nggak sibuk. Kamu kan tahu sendiri. Papa dan Mama nggak
sempet mengurusi urusan remeh-temeh seperti itu ” kata Mama santai sambil
kembali menekuni hobinya. Merawat bunga-bunga.
“Yah,
Mama sama Papa selalu seperti. Nggak pernah ngertiin aku” aku ngeloyor ke
kamarku dengan dongkol setengah mati. Kubanting daun pintuku sekeras-kerasnya.
Kubenamkan badanku ke dalam ranjang. Jadi, menurut Papa dan Mama aku ini urusan
remeh-temeh. Tidak penting. Huft, kenapa ya semua berubah? Semua ini terjadi
karena waktu itu. Kenapa tidak ada yang peduli padaku? Dimana kalian semua?
Yang ada di sisiku sekarang hanya beberapa puisi sedih yang kutempel di dinding
kamarku dan beberapa poster idolaku, Bruno Mars dan Avril Lavigne. Diam dan tak
berhenti memandangiku yang semakin terbenam karena cin..ta.
***
Hari
ini aku dihukum membersihkan toilet lagi, karena aku melamun lagi. Kuterima
cobaan ini dengan lapang dada.
“Rai,
kamu di sini to, aku cari dari tadi.”
“Kamu kan tahu aku menjadi
cleaning service baru di sekolah” ucapku sewot. Roy tertawa cekikikan.
“ Ini kertas ulanganmu” Ia memberikan secarik kertas ke hadapan mukaku.
Nilai merah lagi. Ah, kuremas sekalian kertas itu lalu aku buang ke toilet.
Huh, biar mampus sialnya. Lalu, aku menggeloyor pergi.
“Eh, mau kemana kamu?”
“Pulang”
“Lho kok pulang? Memang tugasmu
sudah selesai?”
“Belum”
“Nah, selesaikan dulu lah”
“Males, capek aku kayak gini
terus”
“Kamu kok jadi kayak gini Han?” Roy
menarik pundakku. Aku terhenti sejenak kemudian berbalik.
“Maksudmu?”
“Kamu beda. Kamu nggak seperti
Raihan yang dulu. Kenapa? Kamu ada masalah?” pandangan mata kami bertemu.
Seperti inikah tatapan perhatian seorang sahabat. Ya, harus kuakui, akhir-akhir
ini hubunganku dengan Roy sedikit renggang, padahal dulu kami adalah teman
seperjuangan dari SD.
“Banyak Roy” aku menunduk lesu.
Roy tersenyum sembari menepuk pundakku.
“Hehe..tenang. Ada aku di sini.
Ayo cerita sama aku” Aku mengangguk. Lalu kami pergi pulang. Di sepanjang
perjalanan pulang aku ceritakan semua masalahku. Mulai dari saat aku putus
dengan Shella, hingga renggangnya hubunganku dengan teman dan keluargaku. Roy
takjub, sesekali ia mengangguk. Kadang ia memberikan saran dengan gaya
bicaranya yang sok bijak. Tapi aku senang, setidaknya beban yang kurasakan ini
bukan hanya aku yang menanggung tapi ada sahabat baikku, Roy.
“Ya sudahlah nikmatin aja hidup
ini, berani mencintai berarti berani sakit hati.” Kata Roy, suatu hari.
“Eh bro, kamu jangan kasih tahu
dulu ya kalau aku sudah putus sama Shella”
“Ok bro, aku kunci rapat-rapat ini mulut.
Tapi, fulus dulu dong” Roy mengkodekan dengan
jari-jarinya.
“Halah, gak ada duit”
“Pelit kamu”
“Bukannya pelit tapi memang gak
ada bro” hahaha..kami tertawa bersama.
Sudah lama sekali ya aku tidak tertawa seperti ini bersama sahabatku. Selama
ini yang aku pikirkan hanya Shella, Shella dan Shella terus. Padahal
kebahagiaan itu kan tidak datang dari seorang pacar. Betul tidak?
“Ayo bro ikut aku?” Roy menarik
tanganku.
“Eh, mau kemana kita?”
“Salat”
“Salat? Salat apaan jam segini?
Masih jam 10 pagi”
Roy menjentikkan jarinya di kepalaku “Salat Duha dodol.
Mendingan kamu salat daripada melamun terus. Doa sana biar dapat hidayah”
Aku diam saja mengikuti Roy pergi ke mushola di sekolah.
Baru aku sadari, sudah dua bulan ini Roy aktif mengikuti kegiatan Rohani Islam
(Rohis). Ia sudah pensiun main PS atau keluyuran di perempatan tiap malam.
Pakaiannya jadi lebih sopan dan rapi. Dan perubahan yang paling kurasakan
adalah gaya bicara itu. Sedikit-sedikit bicara soal Alquran dan al hadist. Memang ada benarnya juga yang dikatakan Roy.
Gara-gara cewek aku lupa segalanya, bahkan kewajibanku terhadap sang Pencipta.
Hari
ini, jam ini, dan detik ini. Aku, Raihan Angga Wijaya, kembali bersimpuh kepada-Mu
Ya Allah. Menjalankan kewajiban hamba sebagai khalifah di muka bumi ini. Lewat
basuhan air wudu yang suci dan menyegarkan jasmaniku ini. Tetes peluh air mata
kucurahkan. Tiap takbir yang terucap dari mulutku yang selalu mengucap kata
buruk serta sering lalai berdzikir padamu. Melalui tangan dan kaki yang selalu
kugunakan untuk berbuat zalim ini. Melalui hati dan pikiranku yang sering lupa mensyukuri nikmat yang Kau
berikan. Dalam rukuk dan sujudku ini, renggut! Renggutlah segala keluh kesah
gundah hidup ini. Mohon berikan aku petunjukmu Ya Allah. Kini, aku telah
berpasrah diri dalam lindunganMu.
Tak
terasa butiran air mata menganak sungai, membasahi sajadah tempatku bersimpuh.
Oh, inikah rasanya kembali menjadi manusia seutuhnya? Hati menjadi tenang dan
tentram. Pikiran pun luas dan jernih tanpa ada embel-embel nafsu dunia. Saatnya
kembali menjadi diriku yang dulu, menjadi Raihan yang ceria, muda dan
bersemangat. Dengan semilirnya angin yang berhembus jiwaku, aku berdiri seraya
berkata “Dunia sambutlah aku, ‘The New Raihan’”.
“Wuih,
bagaimana rasanya habis salat?”
“Mantap
bro”
Haha kami cekikikan. Roy benar, mungkin inilah yang disebut
dengan hidayah. Dahiku seperti bersinar penuh mukjizat. Aku tersenyum manis
kemanapun aku pergi. Menebar pesona ke setiap insan. Anak-anak melihatku dengan
penuh keheranan.
“Woi
bro, maafin aku ya. Aku salah waktu itu” ucapku kepada semua teman yang sudah
aku sakiti.
“Ok
bro, nggak masalah bro, santai aja”
“Yoa
bro, lupakan saja bro. Kita kan sudah temenan sejak lama” kami saling berjabat
tangan ala semut. Teman-temanku kembali lagi. Tidak hanya itu sebenarnya.
Keluargaku pun juga begitu.
“Raihan...”
“Apa
Ma?”
“Sini
Mama mau ngomong” Aku keluar dari kamar lalu duduk di samping Mama.
“Mau
ngomong apa Ma?”
“Itu,
buat kamu” Mama menunjuk ke arah kado
besar di atas meja.
“Buat
aku? Hari ini hari apa ya kok aku di kasih hadiah” segera kubuka kado besar itu dengan penuh
penasaran. Ya ampun, isinya laptop baru.
“Makasih
Mama. Aku sayang Mama deh. Kalau kayak gini aku bakal tambah rajin nyapu sama
nyuci piring deh. Hehe J.”
“Huu
dasar, kalau dapat hadiah aja mau. Tapi ingat, laptopnya harus digunakan dengan
maksimal. Tahun ini harus rangking lho ya.”
“Siap
bos” kataku sambil hormat.
“Ada satu lagi. Mama dan Papa
sepakat mau ikut camping di sekolah kamu”
“Beneran Ma?” Mama mengangguk.
“Iya dong” kata Papa yang
tiba-tiba muncul di belakangku. Papa? Tumben nggak meeting lagi?
“Horee...” aku berteriak
kegirangan. Mereka tertawa melihat tingkahku seperti cacing kepanasan. Kamipun
tertawa bersama. Senangnya bisa berkumpul lagi bersama keluarga. Kupeluk tubuh
Mama dan Papa. Berapa tahun ya kusia-siakan kasih sayang mereka? Duh sungguh
tak bersyukurnya aku.
Hari ini aku belajar banyak hal.
Tentang arti sebuah persahabatan, keluarga dan cinta. Eits, cinta disini bisa
bearti luas. Jangan hanya diartikan sebagai hubungan antara laki-laki dan perempuan
yang saling menyukai saja. Tapi bisa juga dengan sahabat, orang tua, guru,
kakak, hewan kesayangan dan lain-lain. Namun, cinta yang hakiki itu cuma satu,
cinta kita kepada Allah SWT.
Trisnomulyo. Sabtu, 27
april 2013
0 comments:
Post a Comment