Karya : RIZAL DZIKRI
I
Kenanglah kasih,
Kesepian yang ditawar senja
Mentari yang digugat separuh malam
Juga bintang yang berpendar menyapamu lugu
dalam bait putih abu-abu
Jarum jam meninggalkan angka sembilan
menyatroni malam larut
Hari itu bulan purnama ketiga di bulan oktober. Kau ingat?
Binar bulat seperti lentik kelopakmu
Yang jauh nun di sana memandangi waktu
Juga ombak angin yang beradu dengan gemuruh hatiku
tibalah aku membuka mata
Meruncing menjadi kata-kata pembuka
Yang menguap satu satu
Menjadi percakapan bapak ibu
Kenanglah kasih,
Kesepian yang ditawar senja
Mentari yang digugat separuh malam
Juga bintang yang berpendar menyapamu lugu
dalam bait putih abu-abu
Jarum jam meninggalkan angka sembilan
menyatroni malam larut
Hari itu bulan purnama ketiga di bulan oktober. Kau ingat?
Binar bulat seperti lentik kelopakmu
Yang jauh nun di sana memandangi waktu
Juga ombak angin yang beradu dengan gemuruh hatiku
tibalah aku membuka mata
Meruncing menjadi kata-kata pembuka
Yang menguap satu satu
Menjadi percakapan bapak ibu
Kenanglah kasih,
Sabtu-sabtu yang bisu
Di suatu sore yang menggugurkan rinai
Kita berteduh di belakang sekolah
Di sebuah kelas matematika
Yang sudah lengang akan peradaban
Entah bunga apa yang bisa membuatku merasa
Entah sajak apa yang bisa membuatku berkata
Sudahlah, aku tak membutuhkan potongan coklat dan gitar melow
Kita sama-sama tahu
Hati tak mau lagi mengeja mantra-mantra
Biar, biarlah tanah dan ilalang ikut bercinta
Di suatu siang
Setelah kita pulang
Dari sekolah yang kian mengusang
Aku menunggumu di balik tembok pembatas
Membaca artikel yang ditulis adik kelas
Dan beberapa lembar kertas pengumuman
Sembari menunggumu pulang ke peraduan
Kita lalu bertemu,
atau memang aku sengaja menemuimu
kita duduk dan mengobrol sedikit
Sekedar melihat senyum masing-masing
Kau tahu itu sudahlah cukup
Karena sebentar lagi gerbang akan menutup
karena sajak-sajak pulang telah dibaca
Dan salam perpisahan telah kita eja
—I love You—
di gerbang ini kita berpisah
sementara waktu mengejam
Kita sama-sama berkendara
Motor yang kian melindas jauhnya
Bersama debu yang melekat di angkasa
Ke rumah kita masing-masing
Membawa segugus rindu
Untuk hari esok
Setelah kita pulang
Dari sekolah yang kian mengusang
Aku menunggumu di balik tembok pembatas
Membaca artikel yang ditulis adik kelas
Dan beberapa lembar kertas pengumuman
Sembari menunggumu pulang ke peraduan
Kita lalu bertemu,
atau memang aku sengaja menemuimu
kita duduk dan mengobrol sedikit
Sekedar melihat senyum masing-masing
Kau tahu itu sudahlah cukup
Karena sebentar lagi gerbang akan menutup
karena sajak-sajak pulang telah dibaca
Dan salam perpisahan telah kita eja
—I love You—
di gerbang ini kita berpisah
sementara waktu mengejam
Kita sama-sama berkendara
Motor yang kian melindas jauhnya
Bersama debu yang melekat di angkasa
Ke rumah kita masing-masing
Membawa segugus rindu
Untuk hari esok
Kenanglah kasih,
Sebuah tanggal memerah
Hari raya yang penuh sejarah
Kita sudah berjanji bertemu
Kunang-kunang kupu-kupu haruslah setuju
Dengan langkah malu-malu
Kita duduk di depan toko sepatu
lalu kita sama-sama banyak bercerita
Tentang masa kecil serta cita-cita
Tentang hobi hingga keluarga
Dan tentang sebuah kotak yang kubingkis dengan asmara
kukumpulkan dari uang jajan
Tabungan dan hutang pada teman
Menjelmalah ia wahai boneka ungu
Menjadi teman tidurmu
Sebuah tanggal memerah
Hari raya yang penuh sejarah
Kita sudah berjanji bertemu
Kunang-kunang kupu-kupu haruslah setuju
Dengan langkah malu-malu
Kita duduk di depan toko sepatu
lalu kita sama-sama banyak bercerita
Tentang masa kecil serta cita-cita
Tentang hobi hingga keluarga
Dan tentang sebuah kotak yang kubingkis dengan asmara
kukumpulkan dari uang jajan
Tabungan dan hutang pada teman
Menjelmalah ia wahai boneka ungu
Menjadi teman tidurmu
II
Kenanglah kasih,
Hari-hari yang dahulu
Malam itu aku beku
Tak ada angin, awan mendung atau salju
Hanya embun yang lirih menghunus empedu
Petang itu daun menggugur satu-satu
Sebuah debu
Aku sendiri. Kini
Menapaki hutan yang digunduli
Pohon-pohon tumbang dan bunga-bunga menggutasi
Kau tinggalkan saja kota yang sudah mati
Sama seperti samsara yang terperam dalam puisi ini
Kasih,
Kenanglah, simpanlah kenangan ini sebab kelak kau akan merindu
Menapaki hutan yang digunduli
Pohon-pohon tumbang dan bunga-bunga menggutasi
Kau tinggalkan saja kota yang sudah mati
Sama seperti samsara yang terperam dalam puisi ini
Kasih,
Kenanglah, simpanlah kenangan ini sebab kelak kau akan merindu
Trisnomulyo, 13 Juli 2013
9:37 WIB
9:37 WIB
0 comments:
Post a Comment