RSS

Mencintai Dalam Diam



Karya : RIZAL DZIKRI

Pagi itu terasa cerah ceria. Aku duduk terpaku menatap seraut wajah manis  Askia. Dia, wanita pujaanku sekaligus pujaan hati anak cowok di sekolah. Siapapun pasti ingin menjadi pacarnya. Rambutnya panjang dibiarkan terurai sebatas pinggang. Wajahnya oval  mirip artis korea. Suaranya indah mengalun di dalam ruang hatiku. Bibirnya merah merekah dan selalu menebarkan kata cinta yang  dapat menggetarkan  hiposentrum disetiap sendi-sendi kehidupan.

Kusangga kepalaku dengan tangan di atas meja. Mataku jauh menerawang  Askia yang duduk jauh di depanku. Kulihat senyumnya menyebar  seperti molekul uranium yang saling berbenturan  di setiap denyut nadiku
           
Woi, lagi liat apa sih?
Tak kusadari makluk mungil itu sudah ada tepat disampingku. Aku gugup. Jantungku berdenyut kencang.

            “Kamu melamun ya?”
“Enggak kok, aku hanya memikirkan ”.  mulutku tercekat. Aku hampir keceplosan.
            Apa?
Tidak, bukan apa-apa. Sudah tidak usah dibahas”. Aku mencoba mencari topik pembicaraan lain. Sebenarnya aku sedang memikirkan kamu, Askia. Aku hanya malu untuk mengatakannya. Aku malu mengakuinya. Malu dengan keadaanku yang seperti ini. Rambut keriting, kulit coklat, memakai kacamata minus tebal, wajah penuh bentol jerawat dan tubuhku yang jauh dari kata atletis. Tentu itu semua bukan syarat cowok idamanmu.
            “Guntur, aku ajarin  fisika. Boleh ya?” pinta Askia dengan manja. Aku hanya mengangguk. Permintaannya itulah yang tak bisa kutolak. Apapun yang bisa kulakukan untuk Askia pasti kukabulkan. Mungkin  satu-satunya nilai plusku di mata Askia adalah karena otakku.
            Askia duduk merapat di sampingku. Rasanya jantungku hendak berhenti berdetak. Nafasku tersengal-sengal dan keringat dingin mengucur di kulitku saat Askia menyentuh tanganku. Kemudian mata kita pun bertemu. Mata Askia jernih dan indah seperti hembusan angin semilir di padang sabana nan luas, senantiasa memberikan kehidupan di tengah musim kering. Oh, Tuhan izinkan aku menatap wajah manisnya setiap hari dalam hidupku. Jadikanlah ia lilin dalam hatiku yang gelap. Gunakan kata-katanya yang lembut  sebagai sirine penyemangat hidupku. Dan jangan biarkan hatinya sakit. Izinkan aku menjaganya, Tuhan.
            Oh…Askia, tahukah jika aku mencintaimu tulus hingga hati sanubari  yang paling dalam. Setiap sel-sel yang terjalin di tubuhku dan di setiap helaian nafasku hanya untuk  senantiasa mencintaimu. Namun, hati ini sulit ungkapkan perasaanku padamu. Aku takut engkau menolakku. Perbedaan diantara kita sangat jauh bak cerita beauty and the beast. Aku hanya bisa memendam perasaan ini dalam hati. Dalam diam.

            “Tur, aku jatuh cinta.” Ucap Askia tiba-tiba seperti gelombang abrasi mengguyur batu karang.
“Apa? Jatuh cinta?” Aku kaget. Dengan siapa engkau jatuh cinta? Denganku kah? Apakah  akhirnya  engkau bisa membaca isi hatiku. Katakan Askia, katakan jika orang  itu aku. Katakan jika kau mencintaiku.
            “Aku. .aku jatuh cinta pada Rizki” ucap Askia singkat. Jleb.  Aku sangat terpukul mendengar  ucapan Askia. Dadaku terasa penuh sesak, seperti ada ribuan batu menimpa tubuhku. Baru saja aku terbang tinggi jauh ke angkasa kemudian jatuh sejatuh-jatuhnya. Tenggelam dalam kesakitan. Langit seakan runtuh. Awan hitam menutupi jiwa. Perlahan-lahan awan itu jatuh membasahi bumi tempat aku menangis dalam hati.
           
Saat pertama kali aku melihat Rizki hatiku bergetar hebat, Tur. Saat itu aku mengikuti ekskul yang sama, Paskibra. Dia terlihat gagah. Dan ternyata Rizki  orangnya baik, pintar dan ganteng”. Kata-kata Askia seperti racun  yang tanpa basa-basi menyerang jantungku.. Aku hanya diam mendengarkan Askia bercerita tentang Rizki sampai hatiku benar-benar rapuh.

Cukup Askia! Jangan kau lanjutkan. Tidak tahukah kau perasaanku sekarang. Teganya kamu terus memujinya di hadapanku. Panas hati ini, demam tubuh ini mendengar ceritamu.

            “Dan tahukah kamu Tur, ternyata Rizki juga mencintaiku.” ucap Askia yang terus mengoceh membakar perasaanku. Tanpa aba-aba aku pergi dari hadapan Askia yang terus menyiksaku dengan kata-katanya.
            “Eh Tur, mau kemana kamu?”
Aku berlalu pergi tak menengok sedikitpun ke belakang. Kubiarkan saja pertanyaan Askia supaya ia bisa menebak apa yang sebenarnya kurasakan, jika dia memang peduli padaku.

***

            Satu minggu berjalan begitu pahit, sejak Askia menceritakan perasaannya padaku. Kenapa aku harus mendengar kata-kata yang hanya akan lebih meremuk redam hatiku. Aku kembali melanjutkan hidupku dengan luka-luka yang masih belum terobati.
            “Tur, tunggu.” akh, Suara itu tak terdengar asing di telingaku. Seorang gadis mungil berlari ke arahku. Askia. Aku tetap berjalan tanpa menoleh ke belakang.

            “Tur, tunggu. Nengok kenapa sih?” aku tak peduli dengan gerutuannya karena aku sedang sakit hati.            “Tur, aku mau ngomong sesuatu sama kamu”
            “Mau ngomong apal?” ucapku sewot.
            “Kamu kok gitu sih Tur sama aku” wajah Askia tampak sedih. Ekspresi itulah yang sampai saat ini tak bisa aku lihat. Aku tak sanggup jika harus melihatnya bersedih.
            “Kamu itu satu-satunya sahabat yang bisa aku percaya Tur. Tidak ada yang lain selain kamu”

Jadi selama ini aku hanya dianggap sahabat. Padahal aku berharap lebih dari itu, Askia.
Lebih dari seorang sahabat yang selalu mendengar keluh kesah. Lebih dari seorang sahabat yang membantumu di saat kamu sedang suka maupun duka. Aku juga ingin jadi pelindungmu. Penyemangat untukmu. Dan sebuah status yang sering di sebut sebagai belahan jiwamu.         

            “Ya sudah Tur, kalau kamu lagi sibuk” matanya sayu. Wajahnya muram. Dan senyum itu tak bersinar lagi. Sesuatu yang membuatku tidak bisa marah padanya. Aku tak tega jika membiarkannya sedih.

“Baiklah, aku dengarkan kamu bercerita”
            “Ini tentang Rizki, Tur.” Mata Askia mencari cerah kembali. “Kami sudah berpacaran sejak kemarin, Tur”

Sudah kuduga akan seperti ini ceritanya. Lain kali aku harus lebih tegas pada Askia. Sudah cukup, aku tidak mau luka ini bertambah besar. Lebih baik aku pergi dan menjauh darimu. Maaf, kali ini aku tidak bisa mendengarkan ceritamu lagi. Karena kiblat hatiku tak searah denganmu.
            “maaf Askia, ceritanya kapan-kapan saja. Aku lagi sibuk.”
Aku berjalan meninggalkan Askia dan menjauh pergi dari hatinya.
***
            Sebulan sudah askia berpacaran dengan Rizki. Hampir sebulan pula aku menghindari Askia. Luka di hatiku belum juga kering dibuat olehnya. Kucoba menghapus Askia dari otakku, namun tetap saja  memori tentang Askia masih tersimpan dalam pikiranku. Aku masih merindukan Askia.
            Jam pelajaran telah usai. Aku bergegas mengemasi buku-buku untuk pulang. Kulangkahkan kakiku  meninggalkan ruangan yang sudah sepi. Tiba-tiba langkahku terasa berat. Aku terbelalak, makhluk yang selalu kurindu sudah  ada dihadapanku. Aku berusaha menghindar tapi   Askia  meraih tanganku. Kami saling bertatap muka. Wajah Askia tampak mengharu biru. Ada apa  geranganmu, Askia?
            Tur, Rizki memang jahat. Dia rela meninggalkanku demi cewek lain”. Askia terisak.
Tanpa diberi aba-aba air mata Askia jatuh membasahi pipinya yang merah. Hatiku hancur untuk kedua kalinya. Bungaku, bungaku yang baru saja mekar telah dirampas dan dicampakkan oleh bocah tengil bernama Rizki.
            “Rizki sudah menghianatiku, Tur. Aku menyesal berpacaran dengan Rizki. Aku menyesal mencintai playboy cap kadal seperti Rizki”. Askia semakin terisak. Airmata yang sejak tadi ditahan kini sudah tak dapat  dibendung lagi. Aku menatap Askia tanpa berkedip. Ingin aku mengucapkan kata-kata pelipur lara pada Askia, tapi mulutku tidak mau diajak kompromi. Aku membisu dalam kesunyian. Sementara Askia masih terisak, kuberanikan diri membelai rambutnya.  Ingin kubisikkan kata cinta  pada Askia. Tapi nyaliku menciut. Biarkan, biarkan lebih lama ia ada dalam pelukanku. Biarkan Askia merasakan getaran cinta dalam dadaku. Karena cinta itu dirasakan dalam hati yang diam.  



Karya : RIZAL DZIKRI
Trisnomulyo, jumat 10 juni 2011






0 comments: