Karya : RIZAL DZIKRI
Kira-kira dua bulan yang lalu
Eros meninggalkan negerinya yang betuah1
Di sebuah pagi, adiknya baru bangun tidur
Kedua orang tuanya menundukkan kepala
Di hadapan mereka ada kegelisahan
Ada tumpuan, ada masa
depan
yang masih sekedar
tanda tanya
Bulan itu adalah bulan september
Di musim kemarau yang cadas
Namun air mata bercucuran diseka
Di depan teras rumah yang mulai berlapuk
Termakan rayap yang disuburi doa
Ia berangkat dari gerbang dengan doa menganga
Kemana perginya si bocah udik itu?
Tanpa bekal pengalaman
Tanpa dampingan orang tua
Dan Dengan uang seadanya
Yang aku tahu, tekadnya sudah bulat
Yang aku tahu, semangatnya hebat
Untuk memuliakan bapak ibu sendiri
Untuk memajukan negeri yang ia cinta
II
Oh ibu bapak
Aku rindu kalian
Tuhan berikan aku
kekuatan untuk memantapkan hati
Tuhan berikan aku
kekuatan untuk menyatakan pergi
Belum genap detik ini memutar roda
Lindasan zaman belum juga merintih
Pikirannya masih terbayang akan rumah
Di geletakkan saja lamunannya
Dekat rumah beratap menghitam
Temboknya retak-retak sedikit
Belum bisa renovasi karena untuk makan nasi
Di dalam rumah
Tergelepar tivi kecil
Buatan tahun sembilan puluh berapa
Masih bertahan diantara tivi plasma
Setidaknya bisa menghibur keluarga saat lelah bekerja
Tak ada perabotan di rumah Eros
Satu per satu dijual
Untuk tambahan modal
Eros pergi mencari bekal
Kamar Eros sekarang kosong
Dulunya tempat ia belajar
Menuliskan segala gundah
Dan membangun mimpi-mimpi yang kadang muskil dicapai
Untuk orang udik sepertinya
Adik Eros seorang laki-laki
Berumur tiga tahun lamanya
Ia gendut dan penuh semangat
Padanya ia berharap
Cita-cita keluarga supaya berderajat
Sedang bapak Eros seorang petani
Menggarap tanahnya sendiri
Dari padi yang ia tanam
Selalu tumbuh harapan
Doa-doa ia tebar
Maka tumbuhlah bunga dan buah di kala panen
Memenuhi perut keluarga
Dan biaya Eros ingin kuliah
Karena tuntutan sebuah tanggung jawab bernama “kepala
keluarga”
Bapak Eros seorang yang tekun
Saat subuh ia berangkat ke ladang
Tanpa sarapan, hanya bekal semangat
Di cangkulnya sawah beberapa petak
Panas dan terik tiada terasa di punggungnya
Baginya panas itulah anugerah
Syukur yang harus dibangun dengan tangan-tangan mungil
Yang renta dan menghitam
Supaya berbuah senyum manis saat ia pulang
Di sambut anggota keluarga
Selain bertani ia juga mengajar
Mengabdi untuk negara
7 tahun lamanya menjadi guru honor
Juga pegawai perpustakaan dan penjaga sekolah
7 tahun pula harapannya menjadi PNS masih terpanjat
Dengan penantian yang tiada ujung
Ia tetap mengabdi untuk negara
Anak-anak ia ajar dengan sabar
Mulutnya pandai sekali bercerita tentang masa depan yang
wajib dicapai
Katanya membara
“wahai anak-anak yang
kelak jadi pemuda
Belajarlah dari
sekarang
Jangan menunggu esok
pagi baru terbangun
Sebab senja kadang
datang lebih cepat
Lebih awal sebab hari
ada tanda tanya besar
Yang tak pernah kau
tahu jawabannya
Wahai pemuda yang akan
menjadi dewasa
Bekerjalah sesuai
sabda
Berbaktilah pada
negara
Bangun peradaban
dimana kau bisa melihat bintang hanya sejengkal dari tempatmu berdiri
Kau bisa meraihnya
dengan mudah
Dengan tangan kanan
yang manis
Kau berikan pada orang
tuamu yang menunggu di rumah
Dengan sabar, dengan
doa pendar
Berharap itulah nyata
Dan buatlah itu
menjadi nyata wahai pemuda
Di manakah kalian akan
berpijak wahai anak-anakku sepuluh tahun lagi?
Masih samakah hati
kalian dengan sekarang?
Atau telah membatu
menjadi kerak di dasar lautan
Yang keras dan hitam
Atau menjadi mutiara
yang kelak dicari semua orang
Karena sinarnya yang
menyilaukan mata
Aku harap kalian
menemukan satu titik cahaya dalam gua kehidupan
Perjuangan kalian
berat
Dan mulailah malangkah
sejak sekarang
Di pijakan pertama
yang kadang melelahkan
Sebab ketahuilah, ia
yang pertama kali melangkah yang akan menang
Dengan senyum selebar
itu,
Saat itu aku akan
menyambutmu dengan pelukan
Dan untuk orang dewasa
yang kelak menjadi tua renta
Tanggung jawab kita
sunggu berat
Jika harus memilih,
aku akan memilih menjadi anak-anak
Tanpa beban ia
berlarian, mencari kawan
Tanpa harus memikirkan
tentang dunia yang kejam
Dunia yang sering
mencabik-cabik
Tentang sebuah
otoritas
Di sini aku katakan
dengan jelas
Kita bangun benteng di
hati anak-anak kita
Dengan batu bata
pengorbanan
Dengan semen cinta
kasih tiada terukur
Dan doa yang sejak
mereka lahir selalu teucap seperti sebuah sabda
Katakan pada anak-anak
yang kita lindungi
Bahwa kaulah penerusku
nak,
Tongkat estafet
keluarga kita kuberikan padamu
Dengan senyuman kita
antar dia
Ke dunia luar supaya
ia belajar
Tentang hal yang
membuatnya mulai berpikir
Bahwa dunia ini
beraksi
Dan waktu telah
menggulirkan zaman
Menjadi serenta jarum
jam
Ingat, pundakmu
haruslah sekuat bapak
Supaya bisa menanggung
beban berat
Matamu harus selalu
terbuka
Supaya bisa melihat
jalan mana yang terbaik
Hatimu benar-benar
harus suci dari debu
Supaya bisa menuntun
kami ke cahaya...”
Ibu Eros seorang ibu biasa
Cantiknya luar biasa
Setiap hari ia mengurusi rumah tangga
Karena tubuhnya yang lemah, ia tak bisa kerja
III
Saat Eros pergi
Banyak gunjingan terjadi
Kata-kata menjatuhkan
Hingga olok-olok menjadi hidangan
Bagaimana bisa anak petani bercita-cita menjadi menteri
Seperti pungguk merindukan bulan
Seperti itulah perumpamaan terjadi
Sakit di hati terasa dalam beban
Namun Eros tak mendengar
Atau tepatnya tak mau mendengar
Walau kadang mengiris hati
Ia harus buktikan perkataannya bukan Cuma ilusi
Dan sang orang tua pun begitu
Sering dicemooh karena terlalu bodoh
Buang-buang duit untuk kuliah
Hingga jual ladang dan sawah
Jika suatu hari nanti mereka akan menyadari
Bahwa pendidikan itu penting
Bahwa menyekolahkan tinggi anak adalah tanggung jawab
Bukan hanya hak yang seenaknya bisa ditawar
Jika suatu hari nanti mereka percaya
Bahwa ilmu akan menguasai dunia
Bukan dengan sawah ladang seluasnya
Atau uang yang fatamorgana
Maka dengan sabar
Orang tua Eros tersenyum
Walau dalam hati kecut dan ingin marah
Tapi ia menahan, menahan dan memilih diam
IV
Dalam hati Eros merasa galau
Dirinya merasa rendah
Tak enak hati pada orang tua
Telah buang-buang dana
Namun, orang tua Eros tak susah
Mereka menasehati buah hatinya
Tak apa mereka susah untuk sekarang ini
Karena suatu hari
nanti, mereka percaya, keadaan berbalik
Mereka rela berkorban
Kerja mati-matian
Doa sepanjang hari
Asal Eros mengejar mimpi
Maka dengan nasehat kecil itu
Eros kembali menegakkan kepalanya
Semangatnya berkobar tanpa henti
Untuk sukses kemudian hari
V
Sampailah Eros di Jogja
Menuntut ilmu di Universitas Gadjah Mada
Ia takjub dibuatnya
Melihat kota budayanya
Baru pertama kali ia meninggalkan Lampung
Baru pertama kalinya ia meninggalkan rumah
Baru pertama kalinya ia meninggalkan keluarga
Baru pertama kalinya ia meninggalkan kenangan
Ia tak punya saudara di Jogja
Tak punya hadai taulan pula
Teman juga tak punya
Benar-benar sendiri
Beberapa hari ia mencari kosan
Dekat tempat ia menimba ilmu
Sederhana dan murah harganya
Yang penting bisa memejamkan mata
Tiap hari Eros makan nasi kucing
Karena dompetnya selalu tipis
Ia harus berhemat
Walau sebenarnya perutnya sering sekarat
Ketika masuk kuliah ia merasa minder
Karena suatu alasan status
Ia tampak begitu berbeda
Benar-benar berbeda
Ingin rasanya Eros menangis
Memarahi Tuhan karena ketidak adilan
Ketidakberdayaannya dalam hal finansial
Agar membuatnya sedikit bisa diliat dengan kedua mata
Ah, ia kembali teringat pesan orang tua di rumah
Kamu ke Jogja untuk kuliah
Bukan yang lain
Jadi belajar dengan rajin
Buat bapak ibu bangga, katanya suatu hari menelpon
Maka, dengan segala kerendahan hatinya
Ia kembali semangat
Tak lagi ia berpusing masalah status sosial
Dan fokus pada tujuan utamanya, mimpi yang harus diwujudkan
Ia mengikrarkan sukses
Ya, ia telah berjanji
Pada semua orang
Maka, tak ada pilihan lain
Kecuali menepati janjinya, titik.
Keterangan
1.
Betuah adalah sebutan untuk kabupaten Lampung
Timur, yang memiliki kepanjangan Bersih Elok Taqwa Ulet Aman Harmonis.
Biodata penulis
Rizal Dzikri lahir di Lampung, 12 Juli 1995. Saat ini
tinggal di Jogja dan menempuh S1 jurusan Mikrobiologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, sekarang masih
semester 1. No hp 085788566807
Alamat di jogja Klebengan Ct 8 F2, Sleman Yogyakarta.
0 comments:
Post a Comment