Dari kecil saya sudah di latih untuk bekerja keras dan
disiplin. Orang tua saya bukan seorang jenderal, polisi, atau tentara. Mereka
hanya seorang petani. Petani dengan sepetak sawah kecil di desa kecil di
propinsi Lampung.
Ibu saya adalah wanita yang baik dan lemah lembut. Tapi, bukan berarti dia memajakan anak-anaknya. Justru sebaliknya. Dia sangat tegas dalam mendidik anaknya. Dulu, saat sebelum aku sekolah di taman kanak-kanak, aku harus sudah bisa membaca dan menulis. Saat kelas satu SD aku sudah bisa membaca koran dengan lancar, pandai menghitung dan menulis dengan baik. Semua itu tidak lain dan tidak bukan adalah pekerjaan Ibu. Tegas memang saat beliau mendidik, bahkan lebih tegas dari guru matematika di SMA. Setelah pulang sekolah saya diperintahkan untuk belajar, mengulang kembali pelajaran di sekolah. PR harus di selesaikan. Kalau tidak, tidak boleh bermain. Sore harinya aku harus mengaji di TPA, malam harinya mengaji di Mushola. Setelah mengaji di suruh belajar lagi, membaca semua buku yang akan di pelajari besok. Sampai-sampai aku hafal betul setiap kata dan kalimat di buku pelajaranku. Serius, aku tidak bohong.
Berat memang punya
orang tua seperti mereka. Aku merasa di kekang. Dikurung, kebebasanku di
renggut. Hari-hari bermain—terutama untuk anak SD sepertiku—hilang. Bahkan aku berpikir tidakkah
ini terlalu keterlaluan?
Aku iri dengan teman-temanku. Mereka bisa bermain sesuka
hatinya, tidak belajar tidak dimarah. Tidak mengaji tidak masalah. Tidak ada
kekangan, tidak ada paksaan. Hidup seperti milik mereka sendiri, si pemilik
badan. Tapi, teoriku tidak sepenuhnya benar. Justru dengan didikan
Ibu aku bisa menjadi anak yang berprestasi di sekolah. Hadiah-hadiah menang
lomba. Buku-buku, sertifikat dan piala-piala banyak kuperoleh. Bahasaku juga santun
karena sering mengaji. Banyak pujian yang aku dapatkan. Semua itu karena
didikan dari orang tuaku.
Sekarang aku sadar betapa beruntungnya aku dilahirkan di keluarga yang sangat tegas
dan disiplin. Coba bayangkan jika dulu aku dibiarkan saja, belajar atau tidak
terserah, mengaji atau tidak bukan masalah. Mungkin aku tidak bisa seperti
sekarang ini. Mungkin aku akan jadi anak yang suka nyanyi-nyanyi di perempatan
jalan. Suit-suit kalau ada cewek cantik lewat atau malah jadi anak yang suka
mencuri sandal tetangga. Naudzubillah min zalik.
Intinya dalam tulisan saya kali ini, janganlah kita terlalu
menuntut yang berlebihan pada orang tua. Apalagi jika itu semua demi kebaikan
kita. Sering kali kita tidak mendengarkan perkataan mereka padahal yang mereka
katakan baik. Adakalanya, walaupun kita sudah dewasa, sudah bisa
menentukan pilihan hidup sendiri, masih perlu mempertimbangkan pilihan kita
dengan orangtua. Karena mereka juga tahu apa yang sebenarnya baik untuk kita
dan mana yang kurang baik untuk kita. Jadi sering-seringlah berdiskusi dengan
orang tua kita. Aku yakin, mereka akan memberikan yang terbaik untuk kita.
TMC, 27 Juni 2013
0 comments:
Post a Comment