Tanggal 24 November 2013 kemarin saya mengikuti Leadership
Motivation Training yang diadakan oleh Dewan Mahasiswa (DEMA) Fakultas
Pertanian Universitas Gadjah Mada. Acaranya cukup menarik karena diadakan di
Cangkringan, dekat dengan gunung Merapi. Ini pengalaman pertama saya merasakan
udara sedingin itu, benar-benar dingin. Saya tidak bohong.
Dalam acara LMT tersebut, saya dan teman-teman yang akan
dilantik menjadi anggota DEMA, diberikan sebuah tantangan untuk melakukan
diversifikasi makanan. Ya, sebagai anak pertanian, sudah sewajarnya jika kami
belajar untuk menyejahterakan petani dan membantu pemerintah menggalakkan
program diversifikasi makanan dan pelarangan makanan yang terbuat dari gandum.
Kalau teman-teman masih bingung apa itu diversifikasi makan,
saya akan jelaskan sedikit. Diversi makanan adalah cara atau program
penggantian bahan nasi atau beras dengan bahan lain yang mengandung karbohidrat sebagai
makanan pokok. Alternatif yang bisa dipilih sebagai pengganti nasi adalah ubi
pohon, umbi batang, singkong, kentang, sagu, jagung dan lain-lain. Kedengarannya menarik bukan? Menurutmu begitu? Saya berpikir
tidak. Justru saya menderita.
Ketergantungan kita (terutama saya) terhadap nasi sangat kronis. Hal ini dirasakan juga oleh teman-teman seperjuangan dalam acara LMT DEMA tersebut. Sejak kecil saya memang sudah diajarkan untuk makan nasi sebagai makanan utama. Pokoknya kalau belum makan nasi ya belum makan. Perasaan ini pun sama dirasakan oleh anggota lainnya. Kami semua merasa tersiksa. Terlebih lagi makanan yang diberikan kepada kami jauh dari kata cukup. Bayangkan, makan malam kami hanya makan ubi satu dan segelas es teh. Paginya kami diberikan sarapan sebuah kentang dan segelas susu, makan siang kami diberikan satu buah pisang dan makan malam kami harus makan labu yang dimasak begitu saja tanpa bumbu. Ini bukan seperti surga. Sama sekali tidak enak, tidak kenyang dan tidak bergizi. Padahal aktifitas yang kami lakukan membutuhkan energi yang cukup.
Ketergantungan kita (terutama saya) terhadap nasi sangat kronis. Hal ini dirasakan juga oleh teman-teman seperjuangan dalam acara LMT DEMA tersebut. Sejak kecil saya memang sudah diajarkan untuk makan nasi sebagai makanan utama. Pokoknya kalau belum makan nasi ya belum makan. Perasaan ini pun sama dirasakan oleh anggota lainnya. Kami semua merasa tersiksa. Terlebih lagi makanan yang diberikan kepada kami jauh dari kata cukup. Bayangkan, makan malam kami hanya makan ubi satu dan segelas es teh. Paginya kami diberikan sarapan sebuah kentang dan segelas susu, makan siang kami diberikan satu buah pisang dan makan malam kami harus makan labu yang dimasak begitu saja tanpa bumbu. Ini bukan seperti surga. Sama sekali tidak enak, tidak kenyang dan tidak bergizi. Padahal aktifitas yang kami lakukan membutuhkan energi yang cukup.
Menurut pandangan saya, alasan utama mengapa program
diversifikasi makanan susah untuk dilakukan karena ada beberapa faktor. Faktor
tersebut meliputi :
Masalah pemenuhan gizi dan porsi makanan tersebut.
Pelatihan LMT kemarin merupakan cerminan mengapa program diversifikasi makan sulit untuk dilakukan. Ya, alasannya sepele, jumlah makanan dan pemenuhan gizi yang diberikan jauh dari kata cukup bahkan sangat kurang. Setiap kali kita makan, kita hanya diberi sepotong ubi atau pisang. Apakah sepotong pisang atau ubi tersebut dapat mengganjal rasa lapar kita? Apakah sepotog pisang atau ubi tersebut dapat memenuhi kebutuhan gizi kita? Tanpa dibarengi dengan sayuran dan lauk pauk yang sangat dibutuhkan kandungan protein, mineral dan vitaminyya dalam tubuh, dan kesemuanya itu tidak didapat dari bahan-bahan diversifikasi yang disajikan.
Diversifikasi artinya adalah “hanya” mengganti nasi dengan bahan pokok lain seperti ubi, kentang dll, bukan untuk mengganti secara keseluruhan makanan tersebut. Adapun jika bahan pokok pengganti nasi tersebut hanya diolah biasa-biasa saja, tentu tidak matching bila disatukan dengan sayur ataupun lauk. Nah, inilah masalah keduanya. Dan solusinya adalah, dengan mengolah bahan-bahan diversifikasi tersebut lebih lanjut menjadi bahan makanan yang sedap dipandang mata dan lidah, serta bisa dikombinasikan dengan sayur atau lauk. Misalnya, singkong diolah menjadi tiwul atau jagung diolah menjadi nasi jagung. Tentu saja tiwul atau nasi jagung jauh lebih cocok dipadukan dengan sayur dan lauk daripada harus makan sayur dan lauk dengan singkong rebus, konyol kan?
Masalah pemenuhan gizi dan porsi makanan tersebut.
Pelatihan LMT kemarin merupakan cerminan mengapa program diversifikasi makan sulit untuk dilakukan. Ya, alasannya sepele, jumlah makanan dan pemenuhan gizi yang diberikan jauh dari kata cukup bahkan sangat kurang. Setiap kali kita makan, kita hanya diberi sepotong ubi atau pisang. Apakah sepotong pisang atau ubi tersebut dapat mengganjal rasa lapar kita? Apakah sepotog pisang atau ubi tersebut dapat memenuhi kebutuhan gizi kita? Tanpa dibarengi dengan sayuran dan lauk pauk yang sangat dibutuhkan kandungan protein, mineral dan vitaminyya dalam tubuh, dan kesemuanya itu tidak didapat dari bahan-bahan diversifikasi yang disajikan.
Diversifikasi artinya adalah “hanya” mengganti nasi dengan bahan pokok lain seperti ubi, kentang dll, bukan untuk mengganti secara keseluruhan makanan tersebut. Adapun jika bahan pokok pengganti nasi tersebut hanya diolah biasa-biasa saja, tentu tidak matching bila disatukan dengan sayur ataupun lauk. Nah, inilah masalah keduanya. Dan solusinya adalah, dengan mengolah bahan-bahan diversifikasi tersebut lebih lanjut menjadi bahan makanan yang sedap dipandang mata dan lidah, serta bisa dikombinasikan dengan sayur atau lauk. Misalnya, singkong diolah menjadi tiwul atau jagung diolah menjadi nasi jagung. Tentu saja tiwul atau nasi jagung jauh lebih cocok dipadukan dengan sayur dan lauk daripada harus makan sayur dan lauk dengan singkong rebus, konyol kan?
2.
Adanya
gengsi. Sebuah labeling aneh di Indonesia apabila seseorang tidak makan
nasi berarti dia merasa terbelakang. Sepertinya nasi benar-benar makanan yang dianggap elit dan tak bisa
digantikan. Orang akan memilih memakan nasi daripada makan nasi ubi, walaupun
kandungan karbohidrat, serat dan glukosanya jauh lebih baik ubi daripada nasi.
Gengsi masalah yang harus dipecahkan bersama. Kita ubah paradigma kita, bahwa
bentuk nasi yang begitu enak dipandang itu perlu mendapat perlakuan adil dengan
makanan pokok yang lain. Bayangkan, sekarang ini, orang Indonesia Timur, yang
konon katanya makanan pokoknya adalah sagu, kini mereka mulai terbiasa
makan nasi. Mereka gengsi kalau makan sagu. Kalau hal ini terus dibiarkan, maka kebutuhan beras
akan meningkat, sedangkan produksinya saat ini sedang terpuruk. Maka jalan
pintas yang diambil pemerintah pastilah impor beras, kalau sudah impor beras,
maka kesejahteraan petani akan tergadaikan. Beras dalam negeri menjadi mahal,
dan kalah bersaing dengan beras impor yang jauh lebih murah. Lagi-lagi petani
dirugikan.
3.
Faktor
yang ketiga adalah faktor perut. Harus diakui banyak orang Indonesia yang
terlanjur ketagihan dengan nasi. Sehari saja tidak makan nasi maka sama dengan
tidak makan. Inilah kesalahan besar kita. Kita tidak akan mati jika
kita tidak makan nasi. Yakin. Lihat saja orang barat. Sehari-hari mereka makan
roti, kentang dan lain-lain, buktinya mereka masih hidup. Sehat wal afiat, bahkan otak mereka jauh lebih cerdas dari kita. Nah, ubah ya
pandangan kuno seperti itu. Nasi bukan segalanya. Masih banyak makanan yang jauh
lebih enak dari nasi. Dengan mengurangi makan nasi, dengan melakukan
diversifikasi makanan, itu artinya kita membantu mencegah terjadinya impor
beras. Dengan tidak mengimpor beras, itu artinya kita dapat mensejahterakan
petani. Dengan mensejahterakan petani, kita dapat memajukan INDONESIA. MENCAPAI KEDAULATAN PANGAN YANG SEJAK DULU KITA CITA_CITAKAN. HIDUP PERTANIAN INDONESIA. GLORY FOR
AGRICULTURE.
0 comments:
Post a Comment