Saat kecil aku sering ditanya, “kamu mau jadi apa?”. Dengan
muka polos dan pemikiran yang masih sederhana, aku menjawab dengan mantap ingin
menjadi polisi. Ya, saat masih kecil jawaban-jawaban seperti itu wajar, namanya juga cita-cita. Tapi, sejujurnya saat
itu aku belum tahu dengan detail bagaimana menjadi polisi, berapa biaya yang
digunakan untuk sekolah dan lain-lain. Yang aku tahu hanya polisi itu keren
memakai seragam, sepatu dan membawa pistol. Di hari berikutnya, ada orang bertanya padaku sewaktu aku
masih kecil. “kamu ingin menjadi apa?” dengan masih polos sekali aku menjawab
menjadi dokter. Sama seperti diatas, aku tak pernah memeperhitungkan
masalah-masalah lain. Yang aku ketahui ya hanya dokter itu hebat bisa menyembuhkan
orang, mamakai baju keren dan bisa menyuntik semua orang. Itu saja.
Jika di lain hari aku ditanya ingin menjadi apa, maka sangat wajar aku akan menjawab menjadi pilot, nahkoda atau bahkan presiden sekalipun. Sebuah masa kecil yang indah bukan. Ya, kita bisa menjadi apa saja seperti yang kita mau. Namun, dunia itu kadang tidak seperti yang kita harapkan saat kecil.
Saat mulai memasuki SD, aku mulai berpikir bahwa cita-cita
menjadi polisi mulai tidak relevan lagi. Pertama, masalah biaya yang mahal. Kedua
diperlukan fisik yang kuat dan yang terakhir adalah maraknya isu bahwa adanya
kong-kalingkong dalam tes sekolah polisi—kabarnya anak yang memiliki kerabat
atau keluarga serta memiliki duit banyak yang bisa mendaftar polisi. Maka,
cita-cita menjadi polisi dengan terpaksa di kubur dalam-dalam. Beralihlah aku
ke cita-cita menjadi dokter.
Saat menjadi murid SMP, aku kembali berpikir masih sesuaikah cita-cita menjadi dokter. Dilihat dari segi apapun profesi dokter adalah pekerjaan yang mentereng sama halnya dengan perjuangan untuk meraih titel dokter itu sendiri. diperlukan dana yang besar, serta otak yang cemerlang. Tak heran banyak anak yang sudah membayar guru les terbaik tapi tetap gagal dalam tes masuk kedokteran. Bukannya tidak mungkin bagiku, tapi alangkah lebih baik menjadi manusia yang sedikit relistis secara finansial. Dengan pemikiran ini, maka cita-cita menjadi dokter sudah tereliminasi.
Saat masuk SMA, pikiran dewasa mulai berkembang. Aku mulai berpikir adanya keterkaitan antara cita-cita dan realitas. Maka jawabannya adalah mencari jalan aman, yaitu menjadi guru.
Seiring berjalannya waktu, pendirianku goyah. Isu-isu global yang meresahkan,
banyaknya guru yang belum diangkat jadi PNS, serta gaji guru yang aman secara
finansial belum membuatku puas. Ditambah lagi kabar adanya pasar bebas di tahun
2015 membuatku berpikir menjadi pengusaha adalah pilihan yang tepat.
Apapun jurusan yang akan aku ambil di universitas akan aku
jalani, dan jadi pengusaha adalah kewajiban yang juga harus aku capai.
Syukur-syukur aku bisa mengembangkan usaha sesuai bidang studi yang aku geluti,
tentu itu adalah sebuah bonus. Aku percaya dengan apa yang aku pilih sekarang
ini. Aku akan berusaha mencapainya, secepat mungkin dan setepat mungkin. Aku
percaya. Aku bisa. Itu keyakinanku. Titik.
TMC, 27 Juni 2013
0 comments:
Post a Comment