Dunia kini telah berubah. Masa ketika
aku kecil dan masa ketika aku remaja telah berbeda jauh. Ibarat sebuah kereta
yang lepas dari rel lintasannya, melesat jauh menerjang apa saja tanpa
mempedulikan apapun, yang terpenting tujuan tercapai. Hati senang walau yang
lain dirugikan.
Sesungguhnya aku rindu masa kecilku,
saat dimana masih banyak orang yang toleran pada nilai dan norma, saat dimana
masih banyak orang toleran pada hukum dan masa dimana masih banyak orang
toleran terhadap sesamanya, terhadap lingkungan dan terhadap Tuhannya.
Dulu, ketika aku masih kecil, orang
jahat selalu dikucilkan dalam masyarakat. Setiap orang berbuat kejahatan tidak
hanya dihukum malalui Undang-Undang yang berlaku, namun juga diberlakukannya
norma kesusilaan dan norma sosial yang bersifat labelling, mengucilkan,
membicarakan dan sebagainya. Fungsinya adalah untuk menciptakan rasa malu dan rasa
yang bersalah amat mendalam dari sang pelaku kejahatan, memiliki efek jera, dan
berusaha untuk tidak mengulanginya lagi. Efek jera harus diberikan, bukan hanya
bagi sang pelaku tetapi juga pada orang terdekat pelaku seperti istri, anak
atau keluarga.
Seiring berkembangnya zaman,
norma-norma tersebut kini telah bergeser. Luntur. Tak hanya masyarakat yang
abai namun penegak hukum dan pemerintah di negeri ini pun lalai. Mereka mangkir
dari tugas utamanya. Banyaknya korupsi, kolusi, nepotisme, penyuapan dll.
Negeri macam apa ini? Apakah ini negeri yang dihuni oleh berbagai macam hewan
pemangsa yang buas, saling menerkam satu sama lain untuk dapat bertahan hidup?
Aku tidak tahu dan aku tidak berharap begitu.
Degradasi moral bangsa Indonesia
bukan hanya terjadi era ini saja, namun pada zaman orde barulah bibit-bibit
rusak itu mencuat ke masyarakat. Rakyat kala itu dibodohi habis-habisan oleh
penguasa. Rakyat dipaksa tunduk pada pemerintah saat itu. Dan anehnya, banyak
rakyat yang merasa bahwa zaman itu adalah zaman terbaik selama pemerintahan di
Indonesia hingga saat ini.
Demokrasi telah dikobarkan
berkali-kali, tapi suara-suara kebenaran macet di meja-meja parlemen yang
melobi-lobi manis. Tak boleh ada yang mengkritisi pemerintah. Badan-badan pers
tak jarang dipreteli dan tokoh-tokoh penyuara kemerdekaan harus mendekam di
penjara.
Kongkalingkong sudah hal biasa di
kalangan elite politik, bahkan lumrah. Wajar. Sehingga memunculkan aksi geram
dari golongan pemuda yang saat itu dikenal dengan nama “mahasiswa”. Walaupun
aksi gerak mahasiswa dibatasi, namun mereka berhasil juga memperoleh satu titik
cerah. 1998. Reformasi terjadi. Diawali dengan lengsernya Sang diktator
Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Rakyat berpesta pora di jalan-jalan.
Mengelu-elukan kemerdekaan dan perdamaian serta kesejahteraan rakyat Indonesia.
Euforia yang berlebihan memang tidak baik. Kita belum menyadari bahwa dengan
lengsernya Soeharto belum cukup dikatakan reformasi. Karena reformasi
sesungguhnya berarti merombak ulang semua sistem pemerintahan yang meliputi
bidang politik, sosial, budaya, ekonomi dan hukum, adanya transparansi di
pemerintahan dan pencabutan bibit-bibit KKN hingga ke akar-akarnya. Sayangnya,
bibit-bibit KKN tidak diberantas secara tuntas. Degradasi moral pada masa
Soeharto kini diwariskan pada masa reformasi. Ketidakstabilan politik dan
ekonomi membuat pemerintahan saat itu, yang dipimpin BJ. Habibie, membuat
tindakan serba cepat. Akhirnya, sistem pembangunan macet karena adanya
kreativitas yang terbatas oleh waktu yang singkat.
Perubahan utama dari pemerintahan
saat ini adalah kursi-kursi pemerintahan yang diduduki oleh orang yang tidak
kompeten di bidangnya. Misalnya saja, terpilihnya Roy Suryo menjadi menteri
Pemuda dan Olahraga. Ada penyimpangan jauh antar telematika dengan Olahraga.
Dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya.
Pemilihan-pemilihan ini terjadi
karena adanya koalisi dalam suatu partai politik sehingga mau tidak mau,
pemenang koalisi harus membagi rata jabatan di pemerintahan, entah dia kompeten
atau tidak. Adalah sebuah masalah besar jika nasib bangsa Indonesia ditentukan
oleh pemimpin-pemimpin seperti ini. Harus tergabung dalam sebuah partai dan
berkoalisi, ah yang benar saja. Banyak pemimpin hebat di Indonesia yang belum
terendus media masa. Keberadaan mereka tersembunyi, merekalah yang berada di jalan-jalan,
mereka yang masuk ke desa-desa, berinteraksi dengan rakyat dan mengamati
gejala-gejala yang ada. Ada banyak pemimpin di negeri ini yang rela dibayar
kecil atau tidak dibayar asalkan rakyat sejahtera. Lalu mengapa kita tetap
memilih orang-orang tak berkompeten dan tidak humanis untuk menjadi pemandu
jalan meraih cita-cita bangsa?
Mereka yang hanya menginginkan
jabatan semata, ketenaran, uang dan segala kemudahan yang diberikan, tak pantas
untuk berlaga di panggung politik. Mereka yang hanya pintar berargumen, hanya
modal eksis di layar kaca, mereka yang hanya tidur dan bermain perang-perangan
saat rapat terjadi, tak pantas duduk di singgasana kepemimpinan. Mereka yang
mengatasnamakan Tuhan, agama, keturunan, dan janji-janji buta tak pantas kita
bayar. Lalu kenapa mereka bisa terpilih? Kemana perginya pemimpin sejati yang
turun ke desa-desa itu?
Sayang, pemimpin sejati yang turun ke
desa-desa tadi tak sanggup berdendang di jajaran politik karena budaya politik
bangsa kita sekarang identik dengan bagi-bagi uang, tenar di layar kaca, ikut
partai politik tahi kucing dan lobi-lobi manis. Pemimpin sejati sudah digerus
masyarakatnya sendiri, karena rakyat lebih memilih uang daripada pemimpin yang
jujur. Rakyat lebih memilih sembako daripada pemecahan masalah. Rakyat lebih
memilih janji-janji kosong daripada bukti pengorbanan. Karena itu wajar jika
rakyat menderita sekarang, karena rakyat telah memilihnya sendiri.
0 comments:
Post a Comment