RSS

Dunia Semakin Maju, Moral Semakin Mundur



 Karya : RIZAL DZIKRI


Dunia kini telah berubah. Masa ketika aku kecil dan masa ketika aku remaja telah berbeda jauh. Ibarat sebuah kereta yang lepas dari rel lintasannya, melesat jauh menerjang apa saja tanpa mempedulikan apapun, yang terpenting tujuan tercapai. Hati senang walau yang lain dirugikan.

Sesungguhnya aku rindu masa kecilku, saat dimana masih banyak orang yang toleran pada nilai dan norma, saat dimana masih banyak orang toleran pada hukum dan masa dimana masih banyak orang toleran terhadap sesamanya, terhadap lingkungan dan terhadap Tuhannya.

Dulu, ketika aku masih kecil, orang jahat selalu dikucilkan dalam masyarakat. Setiap orang berbuat kejahatan tidak hanya dihukum malalui Undang-Undang yang berlaku, namun juga diberlakukannya norma kesusilaan dan norma sosial yang bersifat labelling, mengucilkan, membicarakan dan sebagainya. Fungsinya adalah untuk menciptakan rasa malu dan rasa yang bersalah amat mendalam dari sang pelaku kejahatan, memiliki efek jera, dan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi. Efek jera harus diberikan, bukan hanya bagi sang pelaku tetapi juga pada orang terdekat pelaku seperti istri, anak atau keluarga.

Seiring berkembangnya zaman, norma-norma tersebut kini telah bergeser. Luntur. Tak hanya masyarakat yang abai namun penegak hukum dan pemerintah di negeri ini pun lalai. Mereka mangkir dari tugas utamanya. Banyaknya korupsi, kolusi, nepotisme, penyuapan dll. Negeri macam apa ini? Apakah ini negeri yang dihuni oleh berbagai macam hewan pemangsa yang buas, saling menerkam satu sama lain untuk dapat bertahan hidup? Aku tidak tahu dan aku tidak berharap begitu.

Degradasi moral bangsa Indonesia bukan hanya terjadi era ini saja, namun pada zaman orde barulah bibit-bibit rusak itu mencuat ke masyarakat. Rakyat kala itu dibodohi habis-habisan oleh penguasa. Rakyat dipaksa tunduk pada pemerintah saat itu. Dan anehnya, banyak rakyat yang merasa bahwa zaman itu adalah zaman terbaik selama pemerintahan di Indonesia hingga saat ini.

Demokrasi telah dikobarkan berkali-kali, tapi suara-suara kebenaran macet di meja-meja parlemen yang melobi-lobi manis. Tak boleh ada yang mengkritisi pemerintah. Badan-badan pers tak jarang dipreteli dan tokoh-tokoh penyuara kemerdekaan harus mendekam di penjara.

Kongkalingkong sudah hal biasa di kalangan elite politik, bahkan lumrah. Wajar. Sehingga memunculkan aksi geram dari golongan pemuda yang saat itu dikenal dengan nama “mahasiswa”. Walaupun aksi gerak mahasiswa dibatasi, namun mereka berhasil juga memperoleh satu titik cerah. 1998. Reformasi terjadi. Diawali dengan lengsernya Sang diktator Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.

Rakyat berpesta pora di jalan-jalan. Mengelu-elukan kemerdekaan dan perdamaian serta kesejahteraan rakyat Indonesia. Euforia yang berlebihan memang tidak baik. Kita belum menyadari bahwa dengan lengsernya Soeharto belum cukup dikatakan reformasi. Karena reformasi sesungguhnya berarti merombak ulang semua sistem pemerintahan yang meliputi bidang politik, sosial, budaya, ekonomi dan hukum, adanya transparansi di pemerintahan dan pencabutan bibit-bibit KKN hingga ke akar-akarnya. Sayangnya, bibit-bibit KKN tidak diberantas secara tuntas. Degradasi moral pada masa Soeharto kini diwariskan pada masa reformasi. Ketidakstabilan politik dan ekonomi membuat pemerintahan saat itu, yang dipimpin BJ. Habibie, membuat tindakan serba cepat. Akhirnya, sistem pembangunan macet karena adanya kreativitas yang terbatas oleh waktu yang singkat.

Perubahan utama dari pemerintahan saat ini adalah kursi-kursi pemerintahan yang diduduki oleh orang yang tidak kompeten di bidangnya. Misalnya saja, terpilihnya Roy Suryo menjadi menteri Pemuda dan Olahraga. Ada penyimpangan jauh antar telematika dengan Olahraga. Dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya.

Pemilihan-pemilihan ini terjadi karena adanya koalisi dalam suatu partai politik sehingga mau tidak mau, pemenang koalisi harus membagi rata jabatan di pemerintahan, entah dia kompeten atau tidak. Adalah sebuah masalah besar jika nasib bangsa Indonesia ditentukan oleh pemimpin-pemimpin seperti ini. Harus tergabung dalam sebuah partai dan berkoalisi, ah yang benar saja. Banyak pemimpin hebat di Indonesia yang belum terendus media masa. Keberadaan mereka tersembunyi, merekalah yang berada di jalan-jalan, mereka yang masuk ke desa-desa, berinteraksi dengan rakyat dan mengamati gejala-gejala yang ada. Ada banyak pemimpin di negeri ini yang rela dibayar kecil atau tidak dibayar asalkan rakyat sejahtera. Lalu mengapa kita tetap memilih orang-orang tak berkompeten dan tidak humanis untuk menjadi pemandu jalan meraih cita-cita bangsa?

Mereka yang hanya menginginkan jabatan semata, ketenaran, uang dan segala kemudahan yang diberikan, tak pantas untuk berlaga di panggung politik. Mereka yang hanya pintar berargumen, hanya modal eksis di layar kaca, mereka yang hanya tidur dan bermain perang-perangan saat rapat terjadi, tak pantas duduk di singgasana kepemimpinan. Mereka yang mengatasnamakan Tuhan, agama, keturunan, dan janji-janji buta tak pantas kita bayar. Lalu kenapa mereka bisa terpilih? Kemana perginya pemimpin sejati yang turun ke desa-desa itu?

Sayang, pemimpin sejati yang turun ke desa-desa tadi tak sanggup berdendang di jajaran politik karena budaya politik bangsa kita sekarang identik dengan bagi-bagi uang, tenar di layar kaca, ikut partai politik tahi kucing dan lobi-lobi manis. Pemimpin sejati sudah digerus masyarakatnya sendiri, karena rakyat lebih memilih uang daripada pemimpin yang jujur. Rakyat lebih memilih sembako daripada pemecahan masalah. Rakyat lebih memilih janji-janji kosong daripada bukti pengorbanan. Karena itu wajar jika rakyat menderita sekarang, karena rakyat telah memilihnya sendiri.

0 comments: